Penulis: Sawqi Saad El Hasan. Dosen Manajemen Bisnis Syari’ah, STEBIS Bina Mandiri Cileungsi
Fenomena wisuda bergaya guru besar di SMK Citra Bangsa Mandiri Purwokerto menuai pro-kontra. Sebagian warganet memberikan komentar di media sosial membelanya dengan argumen: “Tidak masalah, karena mayoritas lulusan SMK langsung bekerja dan tidak akan merasakan wisuda bergelar sarjana.” Normalisasi seperti narasi tersebut tentunya akan mengaburkan substansi permasalahan. Upacara bergaya intelektual justru mengaburkan esensi pendidikan vokasi sebagai pencetak tenaga kerja terampil yang siap menyambut bonus demografi.
Normalisasi tersebut tentunya bukan hanya masalah etika yang harus diindahkan, namun terlihat sebagai pembentukan “akademisasi palsu” yang mengorbankan kompetensi praktis demi ilusi prestise. Pertama, kita melihat bahwa ada proses yang dijalani dalam hierarki akademik guru besar yang dicapai melalui perjalanan puluhan tahun, bukan sekadar atribut toga. Kedua, urgensi penyerapan tenaga kerja vokasi harus menjadi prioritas, mengingat Indonesia hanya punya waktu 5 tahun untuk bisa mengoptimalkan potensi dari bonus demografi. Ketiga, berdasarkan etika dalam maqashid syari’ah, kemaslahatan pendidikan terdapat di dalam substansi (keterampilan), jadi bukan merupakan simbolisme semata secara seremoni yang mengakibatkan harta dan akal menjadi sia-sia.
Guru Besar: Simbol Akhir dari Perjalanan Akademik Panjang, Bukan Sekadar Kostum
Guru besar merupakan interpretasi puncak perjalanan karir akademik yang dicapai melalui proses panjang. Seorang Dosen harus melakukan pengabdian sekitar 20 hingga 30 tahun, melakukan publikasi ilmiah di jurnal bereputasi, pengembangan keilmuan yang sudah dimiliki serta melakukan pembimbingan mahasiswa di bidang akademik maupun pada saat Kuliah Kerja Nyata. Di Indonesia, peraturan tersebut telah dibuat dalam Permenpan RB No. 46/2013, di mana dosen harus mampu untuk memenuhi angka kredit dengan kegiatan Tridharma perguruan tinggi. Atribut toga beserta aksesorisnya yang dikenakan dalam upacara wisuda oleh guru besar, bukan sekadar untuk memenuhi standar estetika, melainkan simbol penghargaan terhadap konsistensi serta integritas keilmuan.
Namun semua hal tersebut menjadi bias ketika ada SMK yang meniru atribut ini untuk upacara wisuda siswanya yang mengakibatkan terjadinya dua permasalahan, yaitu:
- Pemalsuan Makna: Toga guru besar mengalami “reduksi” pemaknaan karena menjadi kostum seremonial untuk Kepala Sekolah dan Guru, padahal atribut yang digunakan itu merupakan simbol mewakili otoritas keilmuan yang diakui secara global.
- Hilangnya Fokus Pendidikan Vokasi: Alih-alih membanggakan sertifikat kompetensi atau portofolio keterampilan teknis dari lulusan yang dihasilkan, justru SMK mengadopsi simbol yang tidak relevan dengan identitas jurusan-jurusan vokasi.
Jika kita lihat contoh di Jerman, salah satu sekolah kejuruan di Bielefeld bernama Carl-Severing-Berufskolleg für Metall und Elektrotechnik atau bisa diartikan Sekolah Kejuruan Carl Severing untuk Logam dan Teknik Elektro, kegiatan yang mereka lakukan sangat kontras dengan SMK yang tengah menjadi sorotan. Kegiatan kelulusan siswa dirayakan dengan penekanan pada pengakuan keterampilan praktis melalui sertifikasi industri, inagurasi yang dilakukan secara sederhana dengan penuh khidmat, tanpa meniru upacara wisuda akademik seperti universitas dan kemudian adanya hiburan dari junior yang masih sekolah.
Hal tersebut juga bertolak belakang dengan hadirnya argumen dari warganet yang menyatakan bahwa “Siswa SMK tidak akan wisuda di perguruan tinggi, jadi tidak masalah dibuatkan wisuda seperti mahasiswa” adalah pembenaran semu. Justru karena mayoritas lulusan SMK itu tidak melanjutkan ke universitas, institusi SMK itulah yang seharusnya bisa menegaskan keunikan dan keunggulannya sebagai pencetak tenaga kerja terampil dan bukan mengekor simbolisme akademik yang berbeda bagi dunia industri.
Bonus Demografi 2030: Saat SMK Harus Jadi Solusi, Bukan Menambah Beban
Indonesia sedang menuju puncak bonus demografi (2030), di mana sekitar 64% penduduk sedang gada di dalam usia produktif. SMK seharusnya menjadi penopang utama untuk mempersiapkan tenaga kerja siap pakai. Akan tetapi ketika kita melihat data BPS (2023), ceritanya jadi berbeda. Data dari BPS menunjukkan pengangguran terbuka lulusan SMK masih tertinggi (8,49%), sementara kebutuhan industri akan tenaga teknis justru belum terpenuhi.
Fenomena akademisasi di SMK Citra Bangsa Mandiri yang menunjukkan upacara wisuda dengan menggunakan atribut toga guru besar dan retorika intelektual oleh Kepala Sekolah dan Guru, akan memperburuk kesenjangan ini. Seharusnya mereka bisa membuat agenda lain yang lebih bermanfaat untuk lulusannya. Misalnya, dengan melatih siswa dengan kemampuan tertentu yang relevan dengan jurusan siswanya pada program khusus untuk bisa mengambil Sertifikasi kompetensi dari BNSP. Jika hal tersebut dilakukan, waktu dan anggaran teralihkan ke aktivitas yang mendukung kompetensi teknis lulusan. Apabila seorang guru SMK lebih bangga berpakaian toga daripada membimbing siswa untuk memiliki kemampuan yang relevan, lantas bagaimana lulusan dapat bersaing di pasar kerja?
Motivasi sesungguhnya bagi siswa SMK adalah jaminan keterampilan yang dibutuhkan industri, bukan ilusi seremoni akademik. Daripada menghabiskan uang untuk atribut toga dan acara wisuda, lebih baik alokasikan dana dari siswa untuk hal berikut ini:
- Pelatihan sertifikasi kompetensi (misalnya BNSP atau lisensi internasional).
- Pembangunan workshop di lingkungan sekolah yang menyerupai lingkungan kerja riil.
- Kunjungan industri untuk membuka wawasan siswa tentang dunia kerja.
Apabila kita melihat contoh Sekolah Menengah Kejuruan di Jepang, lulusan 専門学校 (senmon gakkō) seperti Bunka Fashion College di Tokyo memasuki dunia kerja dengan portofolio karya yang memukau, hasil dari pendidikan vokasi yang fokus dan mendalam. Peragaan busana hasil rancangan lulusan mereka pada saat kelulusan adalah bukti nyata kesiapan kerja. Tentunya hal tersebut berbeda dengan seremoni akademik yang tidak relevan dengan tuntutan industri kreatif.
Maqashid Syari’ah: Ketika Simbol Mengalahkan Substansi
Apabila kita melihat dalam perspektif maqashid syari’ah, setiap kebijakan harus memprioritaskan kemaslahatan nyata (jalb al-masalih) dan menghindari kerusakan (dar’u al-mafasid). Fenomena penggunaan toga guru besar di SMK dapat dinilai melanggar prinsip ini karena:
- Hifzh al-Mal (Menjaga Harta): Pembiayaan atribut seremonial yang mahal (toga, dekorasi) adalah pemborosan (israf), apalagi jika dana itu bisa dialihkan untuk pelatihan praktik untuk memperoleh sertifikasi kompetensi dari BNSP.
- Hifzh al-Nasl (Menjaga Keturunan): Jika lulusan tidak kompeten karena kurikulum tidak fokus pada keterampilan, maka tidak menutup kemungkinan lulusan akan mengalami kendala keuangan.
- Hifzh al-‘Aql (Menjaga Akal): Pendidikan vokasi harus mengasah kecerdasan teknis (practical intelligence), bukan sekadar pemenuhan metrik penilaian untuk siswa saja.
Terdapat argumen dari warganet yang menyatakan bahwa “Ini hanya untuk kebahagiaan siswa”, itu tidak cukup. Kebahagiaan di dalam Islam harus sejalan dengan dampak sosial. Menciptakan generasi yang kompeten dan mandiri secara ekonomi lebih mulia daripada sekadar memuaskan hasrat simbolis sesaat.
Merespons Argumen Normalisasi dan “Lepas Tangan” Regulasi Dinas Pendidikan Terkait
Pihak yang menormalisasi fenomena ini mungkin bermaksud baik: memberi pengalaman “wisuda” pada siswa yang tidak akan merasakan gelar sarjana. Namun, niat baik harus diiringi kesadaran kritis sebagai berikut:
- Pertama, mengapa kita tidak membanggakan wisuda vokasi yang unik? Misalnya, kegiatan presentasi hasil proyek di mana siswa memamerkan hasil praktik (hasil uji laboratorium bahan kimia yang bermanfaat, produk bisnis atau sertifikasi kompetensi) di hadapan industri.
- Kedua, jika ingin mengenakan toga, mengapa tidak mendesain atribut yang mencerminkan identitas vokasi? Misalnya, jubah laboratorium untuk siswa Teknologi Laboratorium Medik, setelan Jas untuk siswa yang menjadi lulusan jurusan Perhotelan dan Usaha Perjalanan Wisata. Hal tersebut jauh lebih relevan daripada meniru acara wisuda.
- Ketiga, upacara kelulusan bisa sekaligus menjadi momen perekrutan tenaga kerja siap pakai dari SMK dengan diadakannya Bursa Kerja. Siswa yang sudah diterima kerja diberi apresiasi khusus dalam acara tersebut.
Menyikapi pernyataan pihak Dinas Pendidikan Jawa Tengah yang terhormat, telah memberikan pernyataan di media dengan “bijak” karena membatasi diri pada urusan pungutan biaya di sekolah negeri dan menyerahkan “keunikan” seremoni di sekolah swasta pada kearifan Yayasan, dimana hal tersebut merupakan sebuah ironi. Seharusnya pemangku kebijakan menjadi “pengingat” bagi inovasi pendidikan vokasi. Terlebih lagi berdasarkan keterangan Kepala Sekolah SMK tersebut yang sudah dirilis media, kegiatan wisuda sudah dilakukan sejak tahun 2013. Pihak pemangku kebijakan tersebut justru terkesan menjadi sekadar “wasit keuangan”. Tentu, kepatuhan pada regulasi itu penting, namun substansi yang terlupakan adalah apakah semangat memajukan pendidikan vokasi hanya diukur dari neraca nol pungutan, tanpa menimbang esensi dan relevansi acara kelulusan dengan tujuan pendidikan itu sendiri?
Barangkali, pihak Dinas Pendidikan lupa bahwa citra lulusan SMK di mata industri tidak ditentukan oleh acara wisuda yang megah, melainkan oleh kompetensi yang teruji. Membiarkan sekolah swasta berkutat dengan gimmick seremonial, tanpa memberikan perspektif yang lebih luas tentang bagaimana merayakan kelulusan siswa vokasi secara bermakna, adalah kesempatan yang disayangkan untuk benar-benar memberdayakan lulusan SMK dalam menghadapi bonus demografi.
SMK Bukan Kampus dan Itu Tidak Masalah
SMK tidak perlu menjadi “mini universitas” untuk dianggap bermartabat. Martabat pendidikan vokasi terletak pada kemampuan mencetak lulusan yang menguasai hard skills, beretos kerja tinggi dan mampu bersaing di industri. Daripada menormalisasi penggunaan toga guru besar oleh Kepala Sekolah dan Guru SMK yang merupakan simbol yang tidak relevan bagi industri, maka akan lebih baik apabila SMK membangun kebanggaan pada identitas aslinya, yaitu sekolah para calon ahli.
Jika ingin memotivasi siswa, tunjukkan bahwa menjadi staf/kepala laboratorium, wirausaha dan hotelier adalah profesi mulia yang tidak kalah bergengsi dari gelar akademik. Jangan korbankan esensi pendidikan vokasi kepada hal yang sifatnya memenuhi hasrat seremonial semata. Saatnya SMK berdiri tegak dengan kekhasannya, bukan menjadi bayang-bayang perguruan tinggi.